Minimnya Kebebasan Berpendapat di Negeri Sendiri

Foto: tiktok.com/@awbimaxreborn

Gemagazine – Beberapa waktu yang lalu, seorang konten kreator di platform media TikTok bernama Bimo Yudho Saputro (@awbimaxreborn) menyampaikan kekecewaannya terhadap kondisi di Lampung yang menurutnya tidak mengalami kemajuan dari segi infrastruktur, pendidikan, dan berbagai sektor lainnya.

Atas konten tersebut, Bima diadukan ke Polda Lampung terkait dengan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) oleh seorang advokat bernama Gindha Ansori karena dianggap melanggar Undang-Undang Informasi dan Elektronik (UU ITE). Selain itu, keluarga Bima sempat didatangi pihak kepolisian hingga mendapatkan teguran dari Gubernur Provinsi Lampung via telepon.

Batas dari sebuah kebebasan

Ancaman dan teguran yang diterima keluarga Bima adalah bukti bahwa negara ini membatasi kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat sebagai hak asasi manusia yang harus dihargai dan dijaga. Padahal, hal ini tertuang dalam Undang-undang yang mengatur tentang kebebasan berpendapat di Indonesia yaitu UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Kedua undang-undang tersebut menjamin hak asasi manusia, termasuk kebebasan berpendapat dan berekspresi, terlebih lagi di media sosial.

Namun, akan menjadi kesalahan yang fatal apabila pemerintah membatasi kebebasan tersebut karena sebetulnya kritik yang dilontarkan masih sangat wajar dan bertujuan untuk kebaikan pemerintah itu sendiri. Bentuk respon pemerintah inilah yang dianggap tidak normal dalam tatanan sistem demokrasi yang ada di Indonesia.

Pengaruh Gen Z dalam Kebebasan Berpendapat

Kritikan yang dilontarkan Bima terkait kondisi Lampung merupakan kepedulian dirinya terhadap lingkungannya. Bima Yudho sendiri mewakilkan Gen Z sebagai generasi yang peduli terhadap hal-hal di lingkungan sekitar dan melawan stigma bahwa generasi ini hanyalah anak muda yang manja.

“Kepedulian yang disampaikan oleh Bima ini harus kita maknai bahwa ini adalah kepedulian generasi muda, Gen Z yang selama ini dituduh sebagai generasi stroberi itu peduli terhadap tanah kelahirannya dan perkembangan tanah air kita,” kata Joanes, dalam tayangan Kompas TV, dikutip dari Tribunnews.com.

Gen Z seringkali menjadi aktor dibalik sebuah gerakan perlawanan terhadap pemerintah. Hal ini dibuktikan dari berbagai tagar di media sosial, seperti tagar #reformasidikorupsi, #mositidakpercaya, dan #semuabisakena. Kemudahan teknologi dimanfaatkan generasi ini sebagai  media untuk mengangkat suatu isu dengan mudah.

Mengancam Demokrasi

Kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah unsur penting dalam demokrasi. Hal ini menjadi implementasi adanya pengawasan dan kontrol terhadap suatu kekuasaan. Kritik juga menjadi penanda bahwa publik berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan.

Kebebasan berpendapat adalah sebuah anugerah bagi negara yang menganut sistem demokrasi karena sistem ini menjanjikan kesehatan dalam berpikir, kesehatan berperilaku sosial dan berpolitik.

Apabila kebebasan berpendapat dibatasi dan dikriminalisasi, lalu apa gunanya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mencakup kebebasan berpendapat di Indonesia? Pemerintah seharusnya menjamin bahwa hak kebebasan berpendapat, berekspresi dan menyampaikan informasi dilindungi sesuai undang-undang yang berlaku.

Pada situasi seperti ini, adakalanya masyarakat harus bijak dan kritis terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, terutama jika itu dinilai kurang memberikan manfaat secara umum. Sikap berani dalam menyampaikan pendapat di depan publik sangat penting untuk ditanamkan pada setiap warga negara agar tidak ada lagi yang hidup hanya sebagai penonton dalam serial politik negeri sendiri. Dengan begitu, setiap kebijakan penguasa akan tetap dapat diperhatikan dengan akal sehat oleh masyarakatnya. (MH/OFR)