Bawaslu Ragukan Netralitas Petahana pada Pilkada 2024

0
By : Wildan Nur Alif Kurniawan

Foto: Wildan Nur Alif Kurniawan

Gemagazine – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 akan segera berlangsung. Partai politik beramai-ramai mengusung kandidat terbaiknya untuk maju dalam kontestasi politik tahun ini. Tidak sedikit pula partai yang mengusung petahana sebagai kandidat terpilih. 

Petahana atau pemegang jabatan yang masih menjalankan periodenya menjadi problematika dalam Pilkada 2024. Petahana dapat memicu ketidaknetralan dalam masa kampanye akibat jabatan yang masih diemban. 

Petahana didukung dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 70 ayat 3. Peraturan ini mengizinkan Kepala/Wakil Kepala Daerah untuk mengikuti pemilihan tanpa harus mengundurkan diri dari jabatannya. Namun, kehadiran petahana ini menjadi perhatian utama Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Bawaslu menilai, petahana yang mencalonkan diri menjadi isu krusial dalam pemilihan 2024.

“Ini kami ingatkan agar tidak terjadi permasalahan pada saat pencalonan,” ucap Bagja, Ketua Bawaslu. Dilansir Gemagazine dari Bawaslu pada Selasa (08/10/2024). 

Petahana Memicu Penyalahgunaan dan Ketimpangan Kekuasaan

Petahana tak hanya berlaku bagi Kepala/Wakil Kepala Daerah yang masih menjabat. Dalam hal ini, Bawaslu turut menyinggung Aparatur Sipil Negara (ASN), anggota TNI, maupun kepolisian yang masih bertugas dan mencalonkan diri dalam Pilkada 2024.

Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 70 ayat 1, dijelaskan bahwa dalam kampanye, pasangan calon dilarang melibatkan Aparatur Sipil Negara (ASN), anggota TNI, dan kepolisian. Bagi mereka yang bersikukuh ingin mencalonkan diri, diwajibkan untuk mengundurkan diri dari jabatannya. 

Hal ini turut diungkapkan Bagja selaku Ketua Bawaslu. Ia menegaskan petahana seharusnya mengundurkan diri sebelum masa penetapan pasangan calon. Berdasarkan data dari Bawaslu, Penetapan pasangan calon ini dilakukan pada 22 September 2024.

Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8 Tahun 2024 Pasal 14 ayat 4 huruf d. Berbunyi, setiap pasangan calon harus mengundurkan diri sebagai calon terpilih anggota DPR, DPD, atau DPRD bagi calon yang berstatus sebagai calon terpilih anggota DPR, DPD, atau DPRD tetapi belum dilantik.

Sayangnya, beberapa pasangan calon tak begitu mengindahkan regulasi tersebut. Banyak anggota DPR terpilih yang tetap melaju dalam kontestasi Pilkada 2024. Di antaranya seperti Rano Karno, Dedi Mulyadi, Ahmad Syaikhu, Airin Rachmi Diany, dan masih banyak lagi. 

Akibatnya, banyak anggota DPR terpilih yang mengundurkan diri secara tiba-tiba karena terlibat dalam Pilkada 2024. Hal ini tentu membuat seolah tak ada pemisah antara lembaga legislatif dan eksekutif. 

Legislatif dan eksekutif tidak bisa dipegang bersamaan sekaligus. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan dan ketimpangan kekuasaan yang diemban. Tiap calon harus memutuskan dengan tepat dan bijak ke mana tujuannya, maju sebagai legislatif atau eksekutif, karena kedua lembaga ini jelas berbeda. 

Pengusungan Petahana Dianggap Mendulang Popularitas Paslon

Meski sudah ada legalitas hukum resmi yang mengatur terkait pencalonan pemegang jabatan yang masih bertugas, masih banyak ditemukan partai politik yang mengusung pasangan calon petahana. Pengusungan paslon petahana tersebut dianggap akan menaikkan jumlah perhitungan suara dalam Pilkada 2024.

Masyarakat cenderung memilih pasangan calon yang telah memiliki rekam jejak dalam memimpin daerah sebelumnya untuk diamanahkan sebagai pemimpin daerah selanjutnya. Kecenderungan masyarakat dalam memilih pasangan calon petahana ini sudah terbukti dalam pilpres lampau.

Petahana mendulang suara tinggi dalam pemilihan sudah terlihat sejak pemilihan presiden tahun 2009. Presiden yang menjabat masa itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kembali mencalonkan diri dan meraih suara tertinggi. 

SBY dan Boediono, Wakil Presiden terpilih pada Pilpres 2009, mendapatkan persentase suara sebanyak 60,80%. Sedangkan 2 pasangan calon lain hanya mendapat jumlah persentase kurang dari 30%. Dilansir Gemagazine dari Komisi Pemilihan Umum pada Selasa (08/10/2024). 

Tak hanya pada Pilpres 2009. Petahana sukses dalam kontestasi politik juga terulang lagi pada pilpres 2014. Saat itu, Jokowi tengah menjabat sebagai Presiden RI dengan masa jabatan tahun 2014–2019. Jokowi menjadi presiden petahana yang berhasil menarik suara rakyat kembali sebagai pemegang eksekutif tertinggi di Indonesia. 

Bersama dengan Ma’ruf Amin, Jokowi mendulang suara tinggi sebanyak 85.607.362 suara atau 55,50%, dan pasangan 02, Prabowo-Sandiaga memperoleh 68.650.239 suara atau 44,50%. Dilansir Gemagazine dari Sekretariat Kabinet Republik Indonesia pada Selasa (08/10/2024). 

Kecenderungan masyarakat dalam memilih pasangan calon petahana ini lah yang membuat banyak partai politik mengusung kembali petahana. Popularitas petahana dalam menarik perhatian publik menjadi penilaian utama partai politik dalam menentukan kandidat. 

Netralitas Petahana Menjadi Aspek Kerawanan Pilkada 2024

Bawaslu mencatat sejumlah isu yang perlu menjadi perhatian dalam Pilkada 2024. Salah satunya adalah netralitas aparatur pemerintah dan penyelenggara pemilihan. Hal ini tentu berkaitan dengan petahana yang turut meramaikan Pilkada 2024.

Bawaslu menilai kerawanan pilkada 2024 ini dipengaruhi oleh potensi penyalahgunaan kewenangan. Beberapa pihak yang perlu diawasi seperti calon unsur petahana, ASN, TNI dan Polri. Pihak-pihak tersebut ditakutkan akan melakukan rotasi jabatan.

Petahana menjadi aktor utama yang perlu diawasi untuk keberlangsungan netralitas dalam Pilkada 2024. Petahana perlu menentukan mana yang menjadi prioritas utama dalam dua posisi yang tengah diemban. 

Meski Petahana yang menjabat sebagai Kepala/Wakil Kepala Daerah diwajibkan cuti dan dilarang menggunakan fasilitas negara. Tak menutup kemungkinan akan terjadi ketimpangan kekuasaan. Melihat situasi terkini, banyak petahana yang mencalonkan diri pada Pilkada 2024 terlambat mengundurkan diri dari jabatannya. 

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 74 Tahun 2016 tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara, pemberian cuti dilakukan selambat-lambatnya 7 hari kerja sebelum penetapan calon. Regulasi ini dipertegas dengan Edaran Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 100.2.1.3/4204/SJ.

Cuti dan pelarangan penggunaan fasilitas negara ditujukan agar tidak terjadi penyalahgunaan fasilitas negara dan politisasi anggaran yang diterima untuk kebutuhan kampanye. Bagi petahana yang tidak melakukan cuti, KPU menegaskan akan memberikan sanksi. Namun, hingga kini KPU belum memberikan konfirmasi lebih lanjut terkait sanksi yang akan diterima bagi petahana yang melanggar ketentuan Pilkada 2024. Hal ini tentu membuat petahana semakin bebas dalam kontestasi politik di Pilkada 2024.

(AAN/VMG)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *