IMG-20250207-WA0007

Foto: freepik.com

GEMAGAZINE – Di era digital pastinya tidak lepas dengan kemajuan teknologi yang baru tiap hari. Perubahan ini membawa kemudahan untuk melakukan segala hal. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah bersosialisasi secara online melalui media sosial.

Media sosial sebagai tempat berkreasi, hiburan, dan juga sebagai lahan pekerjaan, tidak terlepas dari berbagai aktivitas. Salah satu aktivitas yang sering terlihat yaitu, Flexing atau umumnya disebut pamer. Media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Youtube menjadi platform yang dipakai untuk melakukan flexing.

Flexing adalah wujud penggambaran perilaku individu yang berusaha memperlihatkan kemewahan, kekayaan, dan status sosial pada orang lain melalui media sosial. Hal-hal yang dipamerkan beragam, mulai dari gaya hidup, pakaian mewah, kendaraan, pekerjaan, bahkan prestasi. Flexing juga dipandang sebagai tindakan untuk menunjukkan kepemilikan atau pencapaian, dilansir Gemagazine dari jurnal Flexing Sebagai Simulasi Mesin Hasrat dan Fragmentasi Tubuh Generasi Z, Selasa (4/2/2025).

Zaman digital telah memberi sorotan kepada media sosial sebagai opsi lain untuk bersosialisasi. Namun, tiap unggahan dari seseorang memiliki tujuan yang berbeda-beda. Fenomena flexing bukan hanya sekedar tren, melainkan juga menjadi budaya di media sosial.  

Seseorang yang aktif di media sosial, sering kali mendapat dorongan untuk membagikan pengalamannya dan keinginan validasi. Hal tersebut membuat mereka semakin sering membagikan momen terbaik di hidupnya, dilansir Gemagazine dari jurnal The Impact of Social Media on Mental Health and Well-Being, Selasa (4/2/2025). 

Selain itu, media sosial telah menciptakan standar baru tentang kesuksesan. Seseorang akan dianggap berhasil jika memiliki gaya hidup mewah, liburan ke luar negeri, dan memiliki barang branded. Maka dari itu, banyak orang merasa tertekan untuk menyamai standar tersebut dan melakukan flexing agar terlihat setara. 

Dampak Negatif Flexing di Media Sosial

Di balik unggahan yang tampak glamor dan penuh estetika, ada dampak psikologis yang seringkali terabaikan. Tanpa disadari, sebagian individu membandingkan kehidupannya dengan standar yang tidak realistis.

Dampak yang paling sering terjadi adalah cemas dan stres. Saat melihat teman atau influencer yang membagikan kehidupan mereka, secara tidak langsung menimbulkan perasaan rendah diri atau insecure.

Lebih jauh lagi, flexing juga dapat memicu perilaku toxic dan persaingan tidak sehat di media sosial. Dengan mengukur diri sendiri berdasarkan pandangan orang lain, akan menyebabkan tekanan emosional.

Selain itu, flexing dapat mendorong perilaku konsumtif. Seseorang akan membeli barang-barang mewah atau menjalani gaya hidup yang lebih tinggi dari kemampuan finansialnya. Banyak orang berbelanja bukan karena kebutuhan, tetapi karena ingin menunjukkan status sosial mereka kepada orang lain.

Dampak Positif Flexing di Media Sosial

Meskipun flexing seringkali dikaitkan dengan kemewahan, flexing di media sosial tidak selalu berdampak negatif. Bagi beberapa individu, justru momen flexing ini dapat memberikan motivasi, meningkatkan kepercayaan diri, dan mendorong tren positif.

Melihat seseorang yang berhasil mencapai kesuksesan dalam karier atau pendidikan. Bisa menjadi pemicu semangat untuk terus berkembang. Flexing tidak hanya berisiko memperburuk keadaan seseorang. Justru memberikan dorongan kuat untuk berubah menjadi lebih baik.

Ada juga tren flexing positif yang berfokus pada edukasi, kesehatan, dan pengembangan diri. Beberapa orang menggunakan media sosial untuk membagikan pencapaian mereka dalam membaca buku, mengikuti kursus, berolahraga, atau membangun kebiasaan positif lainnya.

Flexing memungkinkan seseorang untuk membentuk dan mengendalikan citra diri mereka. Dengan menunjukkan kekayaan atau pencapaian, dapat menciptakan citra diri yang kuat dan membagikan hasil kerja keras diri sendiri.

Cara Menghindari Efek Buruk Flexing di Sosial Media

Media sosial memang memberikan banyak manfaat untuk bersosialisasi. Membagikan pengalaman berharga, menanyakan kabar teman yang lama tak jumpa, hingga menjalin kerja sama antar perusahaan. Namun, penting untuk disadari bahwa apa yang kita gunakan dan lihat tidak selamanya baik.

Langkah dasar yang dapat dilakukan yaitu membatasi penggunaan media sosial. Menghabiskan terlalu banyak waktu di media sosial, dapat merasa diri sendiri kurang baik atau masih jauh dari kesuksesan.

Banyak pengguna media sosial membagikan momen-momen berharga. Kesadaran untuk fokus ke diri sendiri dapat membantu menghindari perbandingan sosial yang tidak sehat. Sehingga seseorang tidak mudah merasa rendah diri hanya karena tidak memiliki kehidupan yang sempurna seperti di media sosial.

Alih-alih merasa tertekan oleh pencapaian orang lain, lebih baik bersyukur dan menghargai pencapaian diri sendiri. Pada akhirnya, jangan pernah membandingkan diri dengan orang lain yang kamu lihat di media sosial. Setiap orang memiliki perjalanan hidupnya dan masalahnya masing-masing, dilansir Gemagazine dari halodoc, Kamis (6/2/2025).

Flexing di media sosial memang menjadi budaya yang tidak terhindar di era digital modern. Meskipun memiliki sisi positif yang menjadi motivasi, akan tetapi juga dapat membawa dampak buruk. Oleh karena itu, penting untuk kita sebagai pengguna agar bijak dalam menyikapi flexing di media sosial. 

(ndk/pk)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *