“Positives Vibes Only” Harus Banget, Ya?

0

Hampir semua orang di belahan dunia manapun memiliki media sosial, baik ia pengguna aktif ataupun hanya sekadar memiliki media sosial. Bahkan dewasa ini banyak orang berlomba-lomba dalam membuat berbagai konten dengan tujuan yang berbeda di berbagai platform, seperti Instagram, Youtube, Twitter, Facebook, dan masih banyak lagi.

Pada Seminar Bersama GEMA (SEMASA) 2020 sesi 1 yang digelar Sabtu (30/5) melalui Google Meet, menghadirkan seorang penulis juga seorang konten kreator, serta Social Media Specialist dari dua brand, bernama Sophia Mega. Penulis bernama lengkap Sophia Mega Sabila yang telah menerbitkan buku berjudul “Lo Ngerti Siapa Gue” merupakan lulusan Universitas Muhammadiyah Malang, Program Studi Ilmu Komunikasi.

Topik utama seminar ini membahas mengenai Spread Positive Vibes in Social Media. Dalam materinya, Sophia Mega menyampaikan bahwa tren positive vibes only adalah gerakan yang memfilter diri kita dari hal-hal negatif di media sosial yang pada akhirnya membuat kita dengan mudah mengecap sesuatu menjadi toxic. Kemudian muncul sebuah tren karena kita menganggap media sosial sangat melelahkan, yaitu tren Detox Social Media.

Perlukah Melakukan Detox Social Media?

Sophia Mega memaparkan bahwa tren detox social media adalah sebuah kegiatan untuk memilih tidak menggunakan media sosial sama sekali dalam kurun waktu tertentu dengan bermacam alasan. Namun, Sophia Mega memaparkan ada tiga sebab utama yang menjadi alasan mengapa kita memilih untuk melakukan detox social media.

“Pertama, karena netizen nyinyir atau toxic netizen. Mereka membuat kita merasa ada yang salah pada diri kita. Kedua, kabar yang tidak ingin didengar, misalnya timeline kita penuh dengan teman-teman yang seminar proposal, dan kita jadi merasa insecure pada diri sendiri karena belum seminar proposal atau melihat teman-teman kita menikah, akhirnya membuat kita capek dengan kabar yang melelahkan. Hal-hal tersebut membuat kita menjadi overwhelming,” ujar Mega, sapaan akrabnya.

Menanggapi pernyataan Sophia Mega sebelumnya, ia menyampaikan beberapa fenomena menarik  yang sebenarnya kurang penting tetapi diperdebatkan di media sosial. Tentunya kita tahu, bahkan sering melakukan hal tersebut, yaitu budaya mengirim hampers saat Hari Raya, melakukan unboxing, dan berterimakasih di media sosial.

Padahal, kita sama-sama tahu jika di tengah pandemi seperti ini, banyak orang yang sulit untuk bertatap muka dengan satu sama lain secara langsung. Namun herannya, mengapa orang-orang mempermasalahkan hal tersebut di media sosial, dan justru dianggap pamer?

Menanggapi fenomena tersebut, Mega berpendapat bahwa saat ini, kita maupun beberapa orang sedang ada di tahap denying social media existence, “Kita menolak keberadaan sosial media sebagai bagian dari kehidupan kita. Orang-orang memaksakan kita hidup di dunia yang konvensional, kalau ingin berterima kasih langsung aja ke orangnya, enggakperlu unboxing. Di sinilah kita menolak keberadaan media sosial sebagai cara kita berinteraksi.”

Apalagi dengan banyaknya netizen nyinyir atau toxic netizen, juga dengan kabar yang tidak ingin kita dengar, membuat kita seringkali menganggap bahwa media sosial itu bukan real life. Bukan kehidupan nyata, padahal nyata.

Sosial media dan kehidupan nyata itu  sama-sama memiliki sisi positif dan negatif. Seringkali kita memilih lari dari kenyataan negatif itu dan hanya mau memilih sisi positifnya saja. Padahal sama saja, baik itu media sosial ataupun kehidupan nyata.

“Bayangkan kalau enggak ada hal negatif di dunia ini. Kalau enggak ada orang nyinyir, kita enggak akan lebih kuat menghadapi kenyataan atau menghadapi kehidupan. Jika kita terlalu sering tidak mau menerima situasi negatif, yang ada kita hanya membagi hal secara sementara dan itu tidak menyembuhkan apapun. Misalnya, setiap ada orang yang ngeselin di media sosial, kita memilih untuk lari, kita pergi, dan kita tidak mau main media sosial lagi. Itu hanya menyelesaikan permasalahan kita sementara.”

Sophia Mega berpendapat bahwa kita tidak bisa memilih sisi positif saja, dan menolak sisi negatifnya. Kita harus menerima kedua sisi tersebut secara utuh. Kita membutuhkan sisi negatif untuk menguatkan tekad kita dan membentuk karakter kita, sehingga kita dapat menangani hal negatif tersebut.

How to Deal with Negativity

Kembali ke alasan mengapa orang memilih untuk melakukan detox social media yang di antaranya karena toxic netizen, kabar yang tidak ingin didengar, dan overwheming. Pada bahasan ini, Sophia Mega menceritakan salah satu pengalamannya dengan toxic netizen yang ada di kanal Youtube-nya, seperti seorang netizen yang menempatkan standar-standar yang menurut mereka harus Mega lakukan, bahkan mereka menempatkan standar-standar tersebut menjadi sesuatu yang selalu benar.

Hal tersebut kadang membuat kita merasa terganggu, tetapi orang-orang seperti itu selalu berdatangan. Lalu, bagaimana cara menangani kritikan-kritikan tersebut, mulai dari yang masuk akal hingga kritikan terhadap kehidupan personal yang bukan hak mereka?

Salah satu tawaran ide dari Sophia Mega untuk menanggapi hal tersebut adalah bukan dengan  membiarkan mereka berbicara sesuka hati, bukan dengan berpositif thinking terhadap omongan yang mereka maksud karena sekali lagi, itu sama sekali tidak mengobati apapun. Caranya adalah dengan belajar memahami perspektif orang lain.

Belajar dari pengalaman Sophia Mega menanggapi kritikan netizen terhadap caranya me-review buku di kanal Youtube miliknya, hal pertama yang ia lakukan adalah bertanya mengenai latar belakang mereka, sehingga membuat kita mampu menilai apakah mereka pantas untuk berbicara seperti itu atau tidak.

“Aku tanya dia dari jurusan apa. Oh, dia ternyata dari Jurusan Sastra Indonesia, jadi dia punya basic dalam mengulas buku. Karena aku tahu latar belakang dia, maka aku merasa bahwa dia pantas berbicara seperti itu karena dia punya basic-nya. Yang keliru adalah, dia hanya menempatkan standarnya menjadi standar yang paling benar,” ujar Mega menceritakan pengalamannya mendapatkan kritik dari netizen.

Sophia Mega sedang menceritakan pengalaman menanggapi kritikan netizen. Foto: Istimewa

“Jadi, untuk menghadapi toxic netizen ini, aku menyarankan kita harus belajar memahami perspektif orang lain itu seperti apa dan apa yang membuat orang lain berpikir begitu. Jadi, kita bisa mengontrol pikiran kita dan memaklumi mereka, daripada kita harus marah dengan pikiran  dan tanggapan mereka,” lanjut Mega.

Kedua, mengenai alasan kita memilih Detox Social Media yang disebabkan oleh kabar yang tidak ingin kita dengar, dan bagaimana menghadapi hal tersebut. Sering kali kita menemui orang-orang yang kesal dengan pencapaian orang lain di media sosial dan kemudian ia merasa iri.

Sophia Mega sendiri bercerita bahwa ia pernah berada di fase ini. Lalu, bagaimana cara ia mengatasi hal tersebut? Salah satu tawaran dari Mega untuk menghadapi hal tersebut adalah degan menanyakan pada diri sendiri. Kenapa, sih, tidak ingin mendengar kabar tersebut? Ada ketakutan atau rasa tidak suka akan apa dari hal itu, sehingga tidak ingin mendengar kabar tersebut?

“Lalu aku berpikir, kita tidak bisa membatasi kebahagiaan orang lain. Bisa jadi pada masa itu, satu-satunya hal yang membuat ia bahagia yang memang hal tersebut. Jadi, ya, biarin aja orang lain membagikan postingan apapun mengenai hal tersebut. Kita harus bertanya dulu pada diri kita sendiri, kenapa, sih, itu membuat kita tidak nyaman? Ketika kita sudah tahu jawabannya, kita jadi lebih tahu bagaimana cara mengatasinya dan selanjutnya, kembali lagi ke memahami perspektif orang lain. Kenapa sih, dia posting itu? Jadi kita bisa menemukan benang merah antara apa yang membuat kita tidak suka dan akhirnya bisa menghargainya.”

Bagaimana Membuat Media Sosial Lebih Bermakna?

Sebenarnya di media sosial kita bebas melakukan apapun. Namun, pada SEMASA 2020 ini, Sophia Mega menawarkan ide yang lebih bermakna sehingga kita tidak gampang capek dengan media sosial. Salah satunya, berkarya dengan tujuan yang jelas. Jangan sampai kita bermain media sosial hanya demi sebuah validasi atau hal-hal yang mengutamakan ego di dalamnya, seperti ingin terkenal.

Media sosial telah memberikan kita banyak ruang untuk dapat mengeksplorasi diri dan mengenal diri. Kita bisa mencoba banyak hal dan itu sah-sah saja. Kita sangat boleh mencoba banyak hal di media sosial, dan jangan pernah takut jika pada akhirnya tidak konsisten karena inilah peluang kita untuk mengeksplorasi banyak hal baru, dan membuat media sosial menjadi lebih bermakna. 

Namun, sebelum memutuskan untuk berkarya di media sosial, tentunya kita harus bertanya kepada diri sendiri terlebih dahulu. Mau berkarya apa? Sukanya apa? Kita perlu mengeksplorasi diri. Jika kita tidak mencoba, kita tidak akan tahu apa yang kita suka dan apa yang tidak kita suka.

Hal yang digaris bawahi oleh Sophia Mega adalah bahwa tidak selalu orang yang berkarya di media sosial hanya bertujuan untuk popularitas, karena media sosial memiliki banyak manfaat lainnya, di antaranya adalah membangun rasa percaya diri, membantu pertumbuhan karir, kolaborasi karya, dan teman dengan satu minat.

Pentingkah Personal Branding di Social Media

Mega menjelaskan pengertian sederhana dari personal branding, yaitu kesan kuat yang menempel mengenai diri kita di benak orang lain dan personal branding inilah yang dapat membantu kita mencapai empat tujuan, di antaranya membangun rasa percaya diri, membantu pertumbuhan karir, kolaborasi karya, dan teman dengan satu minat. Hal-hal tersebut dapat dicapai dengan memiliki personal branding yang kuat.

Lalu bagaimana cara agar kita memiliki personal branding yang kuat?

Ada tiga syarat untuk memiliki personal branding yang kuat, yaitu khas, relevan, dan konsisten. Sophia Mega menjelaskan bagaimana cara mempunyai personal branding yang khas. Hal yang membuat kita memiliki personal branding kuat yang khas itu bukan dengan cara melakukan sesuatu berbeda yang tidak dilakukan orang lain, bukan juga melakukan sesuatu yang bukan diri kita sama sekali.

Sophia Mega menyampaikan hal yang membuat kita memiliki personal branding kuat yang khas adalah dengan cara mengenali diri sendiri, yang membuat kita berbeda dan khas bukanlah karena kita berbeda, tapi karena kita memiliki peranan, standar, dan gaya yang memang merupakan diri kita sekali dan tidak semua orang punya.

Kemudian Sophia Mega memberikan penjelasan singkat seputar personal branding practical on Instagram. Ada dua langkah mudah yang dapat kita lakukan, pertama adalah bio Instagram. Mengisi bio Instagram ini adalah hal yang paling sering orang-orang lakukan, misalnya mengisi umur, tanggal lahir, zodiak, dan sebagainya. Akhirnya membuat bio hanyalah sekumpulan teks yang kita tidak tahu maksudnya apa.

Ide dari Sophia Mega adalah kita bisa mulai dengan menghilangkan teks-teks yang tidak terlalu penting dan fokus terhadap apa peranan kita.

“Kita juga bisa langsung menyebut title yang sedang kita punya, misalnya fotografer. Kita bisa menuliskannya di situ. Intinya, tujuan bio adalah menuliskan teks singkat yang membuat orang lain ingat kamu itu siapa, kamu itu ngapain, kamu itu sibuk apa, dan kalau bisa mengurangi hal-hal yang tidak terlalu penting.”

Bicara mengenai bagaimana membuat konten sendiri, Sophia Mega menyampaiakan kita tidak perlu memusingkan harus upload konten apa.

“Kita tidak perlu memusingkan harus upload konten apa, tapi kita bisa memikirkan apa, sih, rutinitas yang paling sering kita lakukan terhadap karya kita. Misalnya kita seorang designer, yaudah kita upload proses bagaimana membuat design tersebut.”

Menutup SEMASA 2020 sesi 1, hal yang dapat digaris bawahi dari yang telah Sophia Mega sampaikan tentang membuat konten adalah apa yang kalian upload, itulah yang akan diingat oleh orang lain.

Reporter: Nur Apriani J.

Editor: Nadia Nursyabani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *