Tragedi 1998: Kekerasan Seksual yang Diakui Negara

IMG_6337

Foto: Abie Putra

GEMAGAZINE – Di tengah dorongan Indonesia untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu, Menteri Kebudayaan (Menbud), Fadli Zon, mengeluarkan pernyataan kontroversial yang memicu kecaman publik. Ia menyangkal terjadinya pemerkosaan massal pada Tragedi Mei 1998, sehingga menimbulkan polemik.

“Saya yakin kekerasan seksual itu memang terjadi, tetapi massal itu sistematis, seperti yang terjadi oleh tentara Jepang kepada, misalnya, China di Nanjing, oleh tentara Serbia kepada Bosnia,” ucap Fadli Zon saat memberikan keterangan di IPDN Jatinangor, Sumedang, dilansir Gemagazine dari situs Antara, Sabtu (28/6/2025).

Menteri Kebudayaan meminta bukti unsur terstruktur, sistematis, dan masif mengenai pemerkosaan massal tragedi Mei 1998. Dirinya mengungkap tidak ingin diksi ‘massal’ mencoreng wajah Indonesia.

Tragedi Mei 1998 tidak hanya mencatat kerusuhan dan kejatuhan rezim Orde Baru, tetapi juga titik terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan yang hingga kini belum sepenuhnya diungkap dan menjadi mimpi buruk bagi para korban.

Kilas Balik Tragedi Mei 1998

Pada pertengahan Mei 1998, kerusuhan besar terjadi di Jakarta, Medan, Surabaya, dan beberapa kota lainnya. Ketegangan sosial-politik dan krisis moneter 1997–1998 membuat rakyat frustrasi terhadap rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun.

Pada 12 Mei 1998, Universitas Trisakti menjadi salah satu kampus yang melakukan aksi demonstrasi menuntut pemerintah untuk segera melakukan reformasi. Namun, empat mahasiswa tewas tertembak dalam aksi di sekitar halaman kampus. Peristiwa ini memantik gelombang kerusuhan lain di wilayah Jakarta.

Pada 13–15 Mei, kerusuhan meluas disertai penjarahan dan pembakaran secara besar-besaran di sejumlah pusat perbelanjaan di kawasan Glodok. Pertokoan, fasilitas umum, dan kantor pemerintahan menjadi sasaran utama. Kawasan ini menjadi yang terparah karena adanya campur tangan isu etnis.

Di saat yang sama, terjadi pula penculikan dan intimidasi terhadap para aktivis. Letjen TNI Prabowo Subianto mendapat sorotan karena disebut bertanggung jawab dalam operasi penculikan tersebut. Ketegangan politik antara para elit tergambar dalam pertemuan di Markas Kostrad 14 Mei 1998 yang melibatkan sejumlah pejabat ABRI dan tokoh masyarakat.

Setelah ribuan mahasiswa menduduki gedung DPR untuk menuntut pengunduran diri Presiden Soeharto, Presiden Soeharto akhirnya resmi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia pada 21 Mei 1998.

Menurut catatan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), jumlah korban meninggal dunia dan luka-luka dalam kerusuhan 1998 di Jakarta sangat bervariasi. Tim Relawan mencatat 1.190 orang terbakar dan 91 luka-luka. Polda melaporkan 451 korban meninggal dunia, sedangkan Kodam mencatat 463 meninggal dunia dan 69 luka-luka. Selain itu, Pemda DKI mencatat 288 korban tewas dan 101 luka-luka. Dilansir Gemagazine dari situs Komnas Perempuan, Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Minggu (29/06/2025).

Diksi Bukan Alibi untuk Menyangkal Pemerkosaan Massal 1998

Terdapat 2,8% etnis Tionghoa dari total populasi Indonesia. Sebagai kelompok masyarakat, etnis Tionghoa memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia.

Namun, berkembang pandangan keliru di masyarakat bahwa orang Tionghoa bersekongkol dengan elite penguasa. Pandangan tersebut menimbulkan kecemburuan sosial dan prasangka buruk yang menjadikan etnis Tionghoa sebagai sasaran empuk dalam situasi politik dan krisis ekonomi saat itu.

“Penyintas sudah terlalu lama memikul beban dalam diam. Penyangkalan ini bukan hanya menyakitkan, tapi juga memperpanjang impunitas,” ujar Komisioner Komnas Perempuan, Dahlia Madanih.

Pada Mei 1998 Saat kerusuhan berlangsung, Pelapor Khusus dalam Seri Dokumen Kunci 1 Komnas Perempuan menerima banyak laporan terkait pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa. Laporan itu dikumpulkan selama kunjungan ke Indonesia antara 20 November hingga 4 Desember 1998. Dilansir Gemagazine dari situs Komnas Perempuan, Laporan Khusus PBB, Sabtu (28/06/2025).

Dalam laporan resmi TGPF, ditemukan 85 kasus kekerasan seksual di Jakarta, Medan, dan Surabaya. Rinciannya sebanyak 52 korban pemerkosaan; 14 korban pemerkosaan disertai penganiayaan; 10 korban penyerangan seksual; dan 9 korban pelecehan seksual.

Mayoritas kekerasan terjadi di rumah atau bangunan tertutup. Beberapa korban diperkosa secara bergantian oleh lebih dari satu pelaku. TGPF menyimpulkan adanya pola pemerkosaan sistematis terhadap perempuan etnis Tionghoa yang diduga dilakukan oleh kelompok tertentu dengan tujuan tertentu.

Temuan ini telah disampaikan langsung kepada Presiden BJ Habibie dan menjadi bentuk pengakuan negara atas kekerasan seksual dalam Tragedi Mei 1998.

Sebagai tindak lanjut, pada 15 Juli 1998, pemerintah membentuk Komnas Perempuan melalui Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998.

“Itu adalah tragedi kemanusiaan yang nyata. Jangan menghapus jejak kekerasan seksual yang telah diakui oleh masyarakat internasional. Komnas Perempuan juga sudah melaporkannya,” tegas Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian, dilansir Gemagazine dari situs Antara, Senin (30/06/2025).

(rn/kf)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *