Keterlibatan dan Nepotisme dalam Politik Dinasti
GEMAGAZINE – Fenomena politik dinasti di Indonesia semakin meluas dan terbukti memiliki dampak yang signifikan terhadap demokrasi dan tata kelola pemerintahan. Contoh terbaru adalah pencalonan keponakan Pak Prabowo dalam Pilkada Jakarta yang berpasangan dengan Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Jokowi. Situasi ini menunjukkan bagaimana kekuasaan sering kali diwariskan dalam lingkup keluarga yang dapat memengaruhi proses politik dan kebijakan publik.
Dalam konteks politik dinasti, penting untuk menyadari bahwa kekuasaan yang terpusat pada keluarga tertentu dapat memengaruhi arah kebijakan dan proses pembangunan. Dominasi keluarga dalam politik memungkinkan terbentuknya jaringan kekuatan yang kuat di dalam partai politik, yang memperkuat kendali mereka atas pemerintahan. Hal ini dapat menghalangi munculnya pemimpin baru dengan ide-ide segar dan inovatif serta mengurangi kompetisi sehat dalam politik yang sangat penting bagi demokrasi yang dinamis dan efektif.
Awal Mula Munculnya Politik Dinasti dan Nepotisme di Indonesia
Dinasti politik di Indonesia telah muncul sejak era Orde Lama, bermula dari keluarga presiden pertama Indonesia, Soekarno. Keturunan Soekarno yang meneruskan profesinya sebagai politisi, antara lain, Megawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra. Megawati Soekarnoputri telah menjabat sebagai presiden kelima Indonesia dan tetap menjadi tokoh sentral dalam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Sukmawati dan Guruh juga aktif dalam dunia politik, menunjukkan bagaimana pengaruh dan kekuasaan politik diwariskan dalam keluarga ini.
Fenomena dinasti politik juga terlihat dalam keluarga Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid). Saudara-saudara kandungnya, seperti Salahuddin Wahid (Gus Solah) dan anak-anaknya, seperti Yenny Wahid, turut terjun ke dalam dunia politik. Gus Solah dikenal sebagai aktivis dan pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Komnas HAM, sementara Yenny Wahid aktif dalam berbagai kegiatan politik dan organisasi masyarakat. Keterlibatan keluarga besar Gus Dur dalam politik menunjukkan pola serupa di mana kekuasaan dan pengaruh politik tetap berada dalam lingkup keluarga, mencerminkan bagaimana dinasti politik terus berkembang di Indonesia dari generasi ke generasi.
Pada prinsipnya, politik dinasti seharusnya lebih mengarah kepada perilaku menjaga moral, bukan sekadar mengejar kekuasaan. Di Eropa atau Amerika Utara, konsep familisme yang dimiliki berbeda dengan negara-negara dunia ketiga. Familisme dipahami sebagai langkah dalam menumbuhkan sikap favoritisme, nepotisme, seksionalisme, maupun regionalisme, yang berlandaskan pada sikap semangat dalam upaya menjaga dan mewujudkan kepentingan secara kolektif.
Namun demikian, hubungan darah tidaklah menjadi patokan utama dalam mendorong kerabat untuk terjun dalam dunia politik. Politik dinasti di Eropa/Amerika Utara didasarkan pula pada tuntutan masyarakat, lingkungan, maupun kondisi tertentu yang kemudian menjadi faktor terbentuknya dinasti politik. Dilansir Gemagazine dari Jurnal Tinjauan Kritis Politik Dinasti di Indonesia.
Dampak Negatif Politik Dinasti pada Demokrasi
Dampak politik dinasti terhadap demokrasi dapat berwujud pengabaian terhadap kompetensi, rekam jejak, kaderisasi, dan kepantasan. Politik dinasti merupakan suatu kondisi di mana kekuasaan politik dijalankan oleh sekelompok orang yang memiliki hubungan keluarga, yang pada akhirnya dapat mengabaikan hak orang lain serta melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Dalam sistem politik dinasti, keputusan penting sering didasarkan pada ikatan keluarga, bukan pada kemampuan atau rekam jejak individu. Hal ini mengabaikan proses kaderisasi dan penilaian kepantasan, merusak tatanan demokrasi, dan menimbulkan ketidakadilan dengan memprioritaskan anggota keluarga yang tidak kompeten. Praktik ini menciptakan monopoli kekuasaan, menghalangi partisipasi luas, dan menurunkan kualitas demokrasi sehingga mengancam hak asasi manusia, keadilan, kesempatan yang sama bagi semua individu, serta merusak kepercayaan publik terhadap sistem politik.
Menurut Zulkieflimansyah, dampak negatif dari kelanjutan politik dinasti membuat partai hanya menjadi mesin politik belaka, yang pada akhirnya menghambat fungsi ideal partai sehingga tak ada target lain selain mencari kekuasaan. Dalam posisi ini, rekrutmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan caleg untuk meraih kemenangan. Di sini kemudian muncul calon instan dari kalangan selebriti, pengusaha, “darah hijau” atau politik dinasti yang tidak melalui proses kaderisasi. Sebagai konsekuensi logis dari gejala pertama, kesempatan bagi masyarakat yang merupakan kader handal dan berkualitas tertutup. Sirkulasi kekuasaan hanya berputar di lingkungan elit dan pengusaha semata sehingga meningkatkan potensi negosiasi dan konspirasi kepentingan dalam menjalankan tugas kenegaraan. Sulitnya mewujudkan cita-cita demokrasi karena tidak terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance). Fungsi kontrol kekuasaan melemah dan tidak berjalan efektif, meningkatkan kemungkinan terjadinya penyimpangan kekuasaan, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dilansir Gemagazine dari Jurnal Pengaruh Dinasti Politik Terhadap Perkembangan Demokrasi Pancasila di Indonesia.
Konsekuensi Politik Dinasti pada Pembangunan Kebijakan
Praktik politik dinasti, di mana kekuasaan diwariskan antar anggota keluarga, berpotensi menghasilkan kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan dinasti daripada rakyat. Hal ini dapat menggerogoti prinsip akuntabilitas dan transparansi yang fundamental bagi demokrasi. Bukti dari negara lain, seperti Filipina, menunjukkan bahwa dinasti politik dapat membawa dampak negatif pada kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa politik dinasti dapat menimbulkan konsekuensi serius bagi demokrasi dan tata kelola pemerintahan di Indonesia. Untuk itu, diperlukan pengawasan ketat dan partisipasi aktif masyarakat dalam proses politik. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa nominasi kepemimpinan didasarkan pada merit dan kepentingan publik, bukan semata-mata pada warisan atau afiliasi keluarga. Hanya dengan demikian, kita dapat menjamin terwujudnya pemerintahan yang adil dan akuntabel yang melayani seluruh rakyat.
Jika ditinjau secara hukum, praktik politik kekerabatan atau politik dinasti merupakan praktik politik yang konstitusional di Indonesia. Sebelumnya, terdapat upaya untuk menghambat pertumbuhan politik dinasti melalui Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) yang mengatur persyaratan calon kepala daerah, termasuk syarat untuk tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Namun, peraturan tersebut kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Dilansir Gemagazine dari Jurnal Politik Dinasti di Negara Demokrasi.
(daz/vmg)