Thailand VS Kamboja Kembali Panas
Foto: Freepik
GEMAGAZINE — Menjelang akhir tahun 2025, Thailand dan Kamboja kembali terlihat baku tembak militer. Bentrokan ini terjadi setelah gencatan senjata yang disepakati pada Juli 2025 di wilayah perbatasan kedua negara. Sengketa wilayah serta perebutan warisan dunia yang diakui UNESCO menjadi polemik utama.
Serangan udara Thailand menggunakan jet tempur F-16 mengakibatkan kerusakan infrastruktur sipil dan Kuil Preah Vihear, yang merupakan warisan dunia UNESCO. Tekanan diplomatik dari negara-negara ASEAN diperlukan untuk menghentikan konflik antartetangga ini.
“Penyelesaian konflik yang dipimpin ASEAN tidak bisa hanya terbatas pada ungkapan keprihatinan dan keterlibatan diplomatik, tetapi harus menghasilkan tindakan nyata untuk perdamaian di lapangan, termasuk gencatan senjata yang berkelanjutan, perlindungan warga sipil, dan pengakhiran konflik segera,” tegas Wong Chen, Anggota Dewan Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (ASEAN Parliamentarians for Human Rights/APHR) dan Anggota Parlemen Malaysia, dilansir Gemagazine dari situs APHR, Selasa (16/12/2025).
Latar Belakang Perselisihan Thailand dan Kamboja
Pada 24 Juli 2025, bentrok bersenjata antara Thailand dan Kamboja juga terjadi dan menewaskan 22 warga Thailand serta 13 warga Kamboja, dengan ratusan lainnya mengalami luka-luka, dilansir Gemagazine dari situs ANTARA, Selasa (16/12/2025). Hingga pertengahan Desember 2025, ketegangan antara kedua negara kembali meningkat.
Perselisihan dipicu oleh sengketa wilayah serta konflik warisan budaya berupa kuil-kuil yang berada di sepanjang perbatasan kedua negara dengan panjang sekitar 800 kilometer.
Dilansir Gemagazine dari situs Mahkamah Internasional, Selasa (16/12/2025), perselisihan Thailand dan Kamboja bermula pada 1904, ketika Prancis (sebagai protektorat Kamboja) dan Siam (Thailand) menyepakati perjanjian penetapan perbatasan di sektor Pegunungan Dangrek yang harus mengikuti aliran sungai. Perjanjian tersebut membentuk Komisi Campuran (Mixed Commissions) yang terdiri atas perwira dari kedua belah pihak untuk menetapkan garis batas wilayah.
Pada tahun 1907, empat perwira Prancis menyusun 11 peta yang mencakup wilayah perbatasan antara Siam dan Indochina Prancis (termasuk Kamboja). Peta tersebut berjudul “Dangrek Commission of Delimitation between Indo-China and Siam,” dengan garis batas ditarik di sebelah utara Preah Vihear, sehingga Candi Preah Vihear berada di wilayah Kamboja.
Setelah Kamboja merdeka pada 1953, Thailand menduduki Kuil tersebut pada 1954. Perundingan antara kedua pihak tidak membuahkan hasil sehingga Kamboja mengajukan perkara ini secara sepihak ke Mahkamah Internasional.
Kamboja mendasarkan argumennya pada peta Dangrek Commission of Delimitation between Indo-China and Siam, dan berpendapat bahwa Thailand telah menerima peta lampiran tersebut sebagai penyelesaian perjanjian yang mengikat kedua negara. Sebaliknya, Thailand menyangkal telah menerima peta tersebut dan menyatakan bahwa garis batas kedua negara mengikuti aliran sungai, sehingga Kuil Preah Vihear berada di wilayah Thailand.
Kuil berusia lebih dari 1.000 tahun ini menjadi saksi bisu konflik antara Thailand dan Kamboja. Dibangung oleh bangsa Khmer, kuil tersebut merupakan simbol kebanggaan dan pemersatu bangsa bagi Kamboja.
Thailand menolak pengakuan kuil tersebut sebagai milik Kamboja dengan alasan lokasinya berada di wilayah Thailand. Padahal, Mahkamah Internasional (International Court Of Justice/ICJ) telah menetapkan Kuil Preah Vihear sebagai milik Kamboja pada 1962, dilansir Gemagazine dari situs Mahkamah Internasional, Selasa (16/12/2025).
Hingga tahun 2008, konflik terus berlanjut hingga ICJ memerintahkan Thailand untuk menarik pasukannya dari kawasan Kuil Preah Vihear setelah Kamboja mengajukan kuil tersebut ke UNESCO dan ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia. Namun, Thailand tetap berpegang pada klaimnya terkait kedaulatan wilayah di sekitar kuil.
Desember Panas antara Kamboja dan Thailand
Pertempuran sengit antara Thailand dan Kamboja kembali terjadi pada awal Desember 2025. Kamboja mengeklaim bahwa ibu kota Phnom Penh menjadi sasaran pengeboman oleh Thailand.
Menurut Kementerian Pertahanan dan Informasi Kamboja, Thailand menerbangkan jet tempur F-16 dan menjatuhkan dua bom di dekat kamp pengungsi di Provinsi Oddar Meanchey dan Siem Reap. Thailand juga disebut menargetkan sebuah jembatan di distrik Srei Snam, Provinsi Siem Reap, yang berjarak lebih dari 70 kilometer di dalam wilayah Kamboja. Tuduhan tersebut dibantah oleh juru bicara Angkatan Udara Thailand.
“Menurut hukum internasional dan aturan keterlibatan, sasaran militer tidak didefinisikan berdasarkan jarak dari perbatasan. Sasaran militer sebenarnya didefinisikan berdasarkan karakteristik dan tujuan penggunaan fasilitas tersebut untuk keperluan militer,” sangkal Jackkrit Thammavichai, dilansir Gemagazine dari Associated Press, Selasa (16/12/2025).
Thailand menyatakan bahwa Kamboja telah menembakkan ribuan roket dari peluncur BM-21 dengan jangkauan 30–40 kilometer, yang mampu meluncurkan hingga 40 roket sekaligus. Serangan tersebut dilaporkan menewaskan seorang warga sipil berusia 63 tahun.
Perdana Menteri Thailand, Anutin Charnvirakul, menyatakan bahwa Thailand belum mencapai kesepakatan gencatan senjata dengan Kamboja. Sementara itu, Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, selaku mediator perdamaian, menegaskan bahwa kedua negara harus segera menghentikan baku tembak militer.
Per 13 Desember 2025, lebih dari 40 orang tewas dengan hampir 200 lainnya terluka. Diperkirakan 600.000 orang telah mengungsi di pusat-pusat evakuasi kedua perbatasan, dilansir Gemagazine dari Aljazeera, Selasa (16/12/2025).
Militer Thailand dilaporkan telah menjatuhkan tujuh bom ke wilayah Kamboja menggunakan dua jet tempur F-16. Dalam serangan lainnya, Angkatan Laut Thailand melepaskan 20 peluru artileri ke Provinsi Koh Kong, Kamboja, dari sebuah kapal perang.
“Thailand akan terus melakukan aksi militer sampai kami merasa tidak ada lagi bahaya dan ancaman terhadap tanah dan rakyat kami,” tulis Anutin dalam unggahan Facebook pribadinya.
Pemerintah Kamboja belum mengumumkan korban militer secara resmi. Namun, setidaknya 11 warga sipil dilaporkan tewas dan lebih dari 72 orang lainnya mengalami luka-luka.
Mundurnya Kamboja di SEA GAMES 2025
Dampak lain dari konflik Thailand dan Kamboja adalah penarikan seluruh atlet Kamboja dari SEA Games 2025 yang diselenggarakan di Thailand. Keputusan ini diambil dengan pertimbangan keamanan dan keselamatan, setelah keluarga atlet meminta agar para atlet dipulangkan.
National Olympic Committee Cambodia (NOCC) menyatakan bahwa keputusan tersebut tidak diambil dengan mudah, mengingat Kamboja sempat mengikuti defile pembukaan SEA Games ke-33 di Stadion Utama Rajamangala, Bangkok.
Hingga kini, panitia Thailand dan SEA Games Federation (SEAGF) belum mengumumkan langkah lanjutan terkait penyesuaian jadwal maupun teknis pertandingan pascapengunduran diri seluruh atlet Kamboja. Pihak penyelenggara masih menunggu pernyataan resmi dari Otoritas Olahraga Thailand (Sports Authority of Thailand).
Pelanggaran Hukum Humaniter Internasional (HHI)
Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (APHR) terus menyerukan gencatan senjata segera dan tanpa syarat kepada Thailand dan Kamboja. Menurut APHR, kedua negara telah melakukan pelanggaran hukum humaniter internasional.
“Baik pemerintah Thailand maupun Kamboja telah melanggar hukum humaniter internasional, dengan tindakan militer yang mengakibatkan pembunuhan warga sipil dan penghancuran rumah, sekolah, dan infrastruktur penting. Hal tersebut bukanlah konsekuensi yang tidak disengaja dari konflik, melainkan tindakan melanggar hukum yang harus segera dihentikan,” tegas Mercy Chriesty Barends, Ketua APHR sekaligus Anggota Parlemen Indonesia.
Situasi darurat kemanusiaan telah mencapai titik krisis. Pusat-pusat evakuasi dilaporkan kekurangan tempat pengungsian yang layak, air bersih, serta persediaan medis bagi ratusan ribu pengungsi. Selain krisis pangan, memburuknya kesehatan mental para pengungsi juga menjadi sorotan APHR.
APHR mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), negara-negara ASEAN, serta negara-negara mitra Thailand dan Kamboja untuk memberikan tekanan diplomatik dan memfasilitasi negosiasi untuk memprioritaskan nyawa manusia.
Komite Internasional Palang Merah (International Committee of the Red Cross/ICRC) turut mendesak kedua negara agar mematuhi hukum humaniter internasional guna membatasi dampak konflik terhadap warga sipil dan mencegah kerusakan infrastruktur. ICRC menyatakan terus melakukan dialog bilateral secara rahasia dengan kedua pihak serta dan memantau dampak kemanusiaan konflik. Organisasi tersebut juga menyatakan kesiapan untuk memberikan bantuan kepada para korban konflik.
(ASN/CHR)