Australia Luncurkan Uji Klinis Diagnostik Long COVID
Foto: Pexels.com
GEMAGAZINE – Tim peneliti dari University of Adelaide, Australia, tengah mengembangkan tes diagnostik Long COVID atau COVID-19 berkepanjangan pertama di dunia. Pasien yang terinfeksi COVID-19 umumnya akan sembuh dalam waktu dua minggu. Namun, bila sampai berbulan-bulan kekebalan tubuh pasien tidak kembali normal, atau bahkan hingga enam bulan setelah infeksi COVID-19 pertama, maka orang tersebut dinyatakan menderita Long COVID.
Seperti yang kita tahu pada tahun 2019-2021, Indonesia termasuk salah satu negara dengan jumlah kasus COVID-19 yang tinggi. Meskipun pandemi ini telah usai, dampak jangka panjang masih bisa dirasakan oleh sebagian penyintas. Gejala Long COVID, seperti kelelahan, gangguan konsentrasi (brain fog), sesak nafas, nyeri dada, gangguan tidur, hingga kesulitan berpikir dapat mempengaruhi kualitas hidup.
Long COVID dapat dialami oleh siapa saja, tanpa memandang umur dan juga seberapa parah infeksi awalnya, dilansir GEMAGAZINE dari situs resmi University of Adelaide pada Selasa (26/08/2025).
Mekanisme Penelitian Long COVID
Lektor Kepala Blanka Grubor-Bauk dan Profesor Simon Berry, bekerja sama dengan Lektor Kepala Mark Plummer untuk merekrut peserta melalui klinik Long COVID Assessment di Rumah Sakit Royal Adelaide. Penelitian ini didukung penuh melalui pendanaan Kelompok Yayasan Penelitian Rumah Sakit dan Dana Masa Depan Penelitian Medis Pemerintah Australia.
Lektor kepala di University of Adelaide Blanka Grubor-Bauk mengatakan bahwa belum ada pengujian yang secara jelas mendiagnosis Long COVID. Sebelumnya pasien harus menjalani proses eliminasi yang panjang, yaitu dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Hal ini menambah tekanan dalam situasi yang sudah sulit.
“Proses tersebut rumit dan pelaksanaannya sangat berbeda pada setiap orang,” lanjut Blanka Grubor-Bauk, dilansir GEMAGAZINE dari situs resmi Antara News pada Selasa (26/08/2025).
Tim peneliti memanfaatkan data dari peserta serta dari masyarakat umum yang mengalami gejala berkepanjangan setelah infeksi. Setelah itu, peserta akan dimintai sampel darah sekaligus mengisi kuesioner terkait pengalaman Long COVID mereka.
Jadi, peneliti berfokus mencari biomarker atau penanda biologis dalam darah dari sampel darah para peserta. Biomarker ini hanya muncul atau berubah pada seseorang yang terjangkit Long COVID.
Harapan dari Penelitian Long COVID
Jika penelitian ini berhasil, biomarker kemudian akan diubah menjadi uji diagnostik klinis melalui kemitraan dengan SA Pathology. Hal tersebut dapat membantu dokter dalam mendiagnosis pasien yang terkena Long COVID dengan cepat dan tepat sasaran.
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa Long COVID adalah kondisi nyata yang bisa dialami siapa saja. Orang yang terkena Long COVID diharapkan tidak merasa diabaikan oleh medis dan pemerintah, tetapi didukung penuh dari tim medis dan pemerintah yang lebih baik.
Sebelum adanya penelitian ini, pasien harus melalui proses panjang dengan berbagai pemeriksaan hanya untuk memastikan apakah mereka mengalami Long COVID atau tidak. Namun, tes biomarker mampu memberikan kepastian bagi pasien agar mendapatkan perawatan yang cepat dan tepat.
Dengan diagnosis yang cepat serta perawatan yang tepat, mereka tidak lagi di ambang ketidakpastian, tetapi memiliki jalan menuju pemulihan yang lebih pasti. Tentunya penelitian ini tidak hanya Australia yang dapat merasakan manfaatnya, tetapi juga bagi dunia termasuk Indonesia.
(as/dam)