‘No Viral No Justice’: Keadilan Bergerak Setelah Viral

WhatsApp Image 2025-11-15 at 16.50.45 (1)

Foto: Saskia Ramadhaty Putri

GEMAGAZINE – Di era digital saat ini, media sosial berperan lebih dari sekadar ruang berbagi cerita, melainkan menjadi wadah perjuangan keadilan. Banyak kasus yang sebelumnya diabaikan akhirnya mendapat sorotan setelah viral di berbagai platform. Fenomena inilah yang kemudian melahirkan istilah ‘No Viral No Justice’ yang menggambarkan bahwa perhatian publik kini menjadi pemicu utama geraknya hukum di Indonesia.

Fenomena ‘No Viral No Justice’ merupakan kritik sosial terhadap sistem penegakan hukum di Indonesia. Frasa ini mencerminkan persepsi publik bahwa kasus-kasus hukum tertentu baru akan mendapatkan perhatian dan penanganan serius dari aparat apabila viral di media sosial. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan besar mengenai keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat, apakah keadilan kini bergantung pada “ramai tidaknya” isu di dunia maya?

Fenomena ini muncul karena banyak orang merasa laporan mereka ke lembaga hukum tidak segera mendapatkan respon cepat. Setelah korban atau pihak terkait mengunggah kisah dan bukti kasus mereka ke platform digital, perhatian publik meningkat drastis. Tekanan sosial yang masif inilah yang memicu aparat penegak hukum untuk merespons kasus dengan lebih cepat.

Viralitas terbukti mampu mendorong pihak berwenang untuk meninjau kembali suatu kasus. Media sosial kini menjadi ruang kontrol publik baru, tempat tekanan kolektif masyarakat dapat mempercepat respons aparat dan menggerakkan proses hukum yang sebelumnya berjalan lambat. Dilansir Gemagazine dari Jurnal Fenomena No Viral No Justice di Indonesia (Analisis Wacana), Senin (10/11/2025).

No Viral No Justice, Ramai Dulu, Baru Ada Aksi

Fenomena ini menunjukkan adanya masalah mendasar dalam mekanisme penegakan hukum kita. Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perundungan (bullying), atau pelanggaran lalu lintas oleh oknum tertentu sering kali menjadi contoh nyata. Awalnya, laporan bisa saja diabaikan atau dianggap sepele. Namun, ketika cuplikan video atau utas cerita di media sosial tersebar luas, kasus tersebut langsung menjadi perhatian nasional.

Peningkatan perhatian publik otomatis menciptakan tekanan besar pada institusi hukum untuk segera bertindak dan memberikan penyelesaian yang adil. Dampak positifnya, keadilan instan dapat tercapai. Namun, hal ini juga menimbulkan kekhawatiran bahwa keadilan kini bergantung pada viral atau tidaknya sebuah kasus.

Ketergantungan pada viralitas ini menunjukkan bahwa media sosial kini berfungsi sebagai kontrol sosial alternatif yang kuat. Fenomena ini menjadi jalan terakhir ketika mekanisme formal dianggap gagal memberikan respons cepat. Keadilan seakan memiliki harga dan nilainya diukur dari tingkat keramaian di dunia maya.

Peran Generasi Muda dalam Gerakan No Viral No Justice

Generasi muda berperan penting dalam menuntut keadilan digital. Melalui platform seperti TikTok, X (Twitter), dan Instagram, mereka mampu mengubah isu lokal menjadi sorotan global hanya dalam hitungan jam. Aktivisme digital ini menunjukkan bahwa suara kolektif di dunia maya bisa mendorong perubahan sosial yang nyata.

Langkah-langkah digital tersebut biasanya berupa penggunaan tagar, penggalangan dukungan daring, dan desakan kepada akun resmi penegak hukum. Aksi ini menunjukkan bagaimana solidaritas publik dapat terbentuk secara cepat di dunia maya. Kekuatan kolektif tersebut membuktikan bahwa masyarakat, terutama kaum muda, masih peduli terhadap isu keadilan.

Peran aktif ini juga meningkatkan kesadaran hukum masyarakat secara umum. Ketika masyarakat melihat kasus serupa dan menyadari bahwa viralitas bisa menjadi kunci, mereka terdorong menggunakan media sosial sebagai alat advokasi. Namun, narasi yang dibangun perlu dijaga agar tetap adil dan berimbang.

Risiko Budaya Viral Terhadap Objektivitas Hukum

Meskipun berdampak positif, budaya viral juga menimbulkan risiko terhadap objektivitas hukum. Tekanan opini publik yang masif dapat memengaruhi jalannya penyelidikan dan persidangan. Akibatnya, fenomena trial by the public kerap mengaburkan fakta hukum yang sebenarnya.

Tekanan sosial sering kali menuntut hukuman instan bagi terduga pelaku, bahkan sebelum proses pengadilan selesai. Sikap terburu-buru ini dapat menimbulkan penilaian yang tidak objektif. Akibatnya, prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence) berisiko terabaikan.

Risiko lainnya adalah sensasionalisme. Isu yang viral cenderung mengutamakan sisi emosional dan dramatis dari sebuah kasus, bukan fokus pada kompleksitas hukum. Penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa keadilan sejati membutuhkan proses yang cermat dan berdasarkan bukti, bukan sekadar popularitas atau tingkat emosi.

Oleh karena itu, aparat hukum perlu memperkuat mekanisme internal agar setiap laporan ditangani cepat dan adil tanpa menunggu viral lebih dulu. Di sisi lain, generasi muda harus bijak menggunakan media sosial sebagai sarana kontrol sosial. Gunakan media digital untuk memperjuangkan keadilan, namun tetap berpegang pada prinsip objektivitas.

Fenomena ‘No Viral No Justice’ menunjukkan bahwa media sosial kini berperan besar dalam mendorong penegakan hukum. Namun, ketergantungan pada viralitas dapat mengaburkan objektivitas dan prinsip keadilan. Keadilan sejati seharusnya ditegakkan karena hukum, bukan karena ramai dibicarakan publik.

(pk/kf)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *