Mengulik Gaya Pacaran Tidak Sehat Anak Muda

GEMAGAZINE – Belakangan ini marak terjadi kasus buruk dalam berpacaran. Padahal, hubungan pacaran seharusnya menjadi wadah kasih sayang bagi anak muda. Sayangnya, banyak yang justru terjebak dalam hal-hal yang membahayakan mereka.
Remaja tercatat lebih banyak memulai pacaran (96,2%) dibandingkan dewasa muda (3,8%). Selain itu, remaja dan dewasa muda yang berpacaran dan terlibat dalam perilaku seksual (90,3%) jumlahnya jauh lebih tinggi dibandingkan yang tidak (9,7%), dilansir Gemagazine dari jurnal Korelasi Usia Pertama Pacaran dengan Perilaku Seksual Remaja dan Dewasa Muda di Indonesia, Rabu (17/09/2025).
Salah satu tren pacaran di generasi sekarang adalah living together (tinggal bersama) tanpa ikatan resmi. Kebiasaan ini berisiko karena rentan memicu emosi yang tidak stabil. Selain itu, kedekatan fisik juga dapat memancing hasrat seksual yang berbahaya.
Munculnya gaya pacaran seperti ini dipengaruhi oleh berbagai faktor. Penelitian menunjukkan bahwa lingkungan pertemanan, lemahnya pengendalian diri, dan kurangnya pengawasan keluarga menjadi pemicu utama. Akibatnya, sebagian anak muda terjebak dalam pola hubungan yang merugikan.
Jika tidak ada kesadaran diri, gaya pacaran yang salah arah dapat menimbulkan masalah berjangka panjang. Pasangan yang baik adalah pasangan yang melindungi. Remaja harus berdaya dan berani mengatakan tidak untuk hal-hal yang dapat merugikan, dilansir Gemagazine dari situs resmi Kementerian Kesehatan, Rabu (17/09/2025).
Membedakan Hubungan yang Sehat dan Tidak Sehat dalam Berpacaran
Banyak anak muda sering mengabaikan batasan dalam hubungan. Tanda-tandanya bisa terlihat dari kebiasaan terlalu sering berduaan di tempat pribadi, menggunakan kata-kata kasar saat berdiskusi, hingga menutup diri dari orang terdekat. Hal ini berisiko menimbulkan ketergantungan emosional yang berlebihan.
Praktik living together tanpa ikatan pernikahan menjadi salah satu hal yang mengkhawatirkan. Pasangan muda rentan mengalami konflik, baik dengan orang tua maupun lingkungan sekitar. Selain itu, mereka juga tidak memiliki perlindungan hukum yang jelas jika terjadi kekerasan atau bentuk penyerangan lainnya.
Hal lain yang tidak sehat adalah perilaku posesif yang berlebihan. Kontrol berlebihan terhadap pasangan, seperti membatasi pertemanan atau aktivitas sosial, dapat mengurangi ruang kebebasan individu. Sebaliknya, hubungan yang sehat seharusnya membangun kepercayaan dan memberikan ruang aman bagi kedua belah pihak.
Dampak Negatif Pacaran Tidak Sehat
Tingkat kekerasan, baik secara fisik maupun seksual, yang dialami perempuan belum menikah sebesar 42,7%. Kekerasan seksual paling banyak dialami perempuan yang belum menikah, yaitu 34,4% lebih besar dibandingkan kekerasan fisik yang hanya 19,6%, dilansir Gemagazine dari situs resmi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Rabu (17/9/2025).
Korban kekerasan, baik seksual maupun fisik kerap mengalami dampak kesehatan jangka pendek, seperti luka, memar, robekan pada area genital, dan cedera fisik yang memerlukan perawatan medis. Selain itu, mereka juga menghadapi risiko terhadap kesehatan reproduksi. Dampaknya bisa berupa kehamilan yang tidak diinginkan hingga komplikasi kehamilan yang serius.
Dampak psikologis yang ditimbulkan juga sangat besar. Banyak korban mengalami depresi, kecemasan, gangguan tidur, hingga stres pascatrauma (PTSD). Kondisi ini membuat mereka kehilangan motivasi belajar, menarik diri dari lingkungan sosial, serta menurunnya prestasi dan produktivitas.
Dampak Positif dalam Hubungan Pacaran
Meski memiliki banyak risiko, pacaran tetap dapat memberi manfaat jika dijalani dengan sehat. Kuncinya ada pada komunikasi terbuka, sikap saling menghargai, serta menjaga batasan dalam hubungan. Dengan begitu, remaja dapat mengembangkan kemampuan emosional sekaligus keterampilan sosialnya.
Pacaran yang sehat dapat menjadi ruang bagi anak muda untuk belajar memecahkan masalah bersama. Melalui pengalaman ini, mereka dapat melatih kemampuan mengambil keputusan dan bertanggung jawab atas konsekuensi pilihan yang dibuat. Nilai-nilai positif ini akan berguna saat menghadapi tantangan di masa depan.
Ketika seseorang memiliki kestabilan kesehatan emosional, mereka cenderung lebih mampu untuk berkomunikasi dengan baik, menjalani hari-hari secara positif, dan membangun ikatan yang kuat. Sebaliknya, jika seseorang terkena gangguan emosional, ia cenderung kesulitan menjalani aktivitas sehari-hari dan hal tersebut berdampak buruk pada kehidupannya, termasuk juga aspek akademik. Dilansir Gemagazine dari jurnal Dari Cinta ke Cita: Peran Hubungan Sehat terhadap Kesehatan Emosional dan Kehidupan Akademik Gen Z, Rabu (17/9/2025).
Pacaran yang tidak sehat dapat menimbulkan banyak konsekuensi, terutama ketika batasan dalam hubungan dilanggar. Risiko kekerasan dan masalah kesehatan mental pun lebih mudah muncul. Sebaliknya, hubungan yang sehat mampu menghadirkan rasa aman, saling menghargai, serta dukungan emosional bagi anak muda.
(pk/alka)