RUU KUHAP 2025: Antara Reformasi dan Kontroversi - GEMA

RUU KUHAP 2025: Antara Reformasi dan Kontroversi

IMG-20250729-WA0063

Foto: Freepik.com

GEMAGAZINE – Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) 2025 diajukan sebagai pembaruan atas KUHAP 1981 yang dinilai tidak lagi selaras dengan dinamika hukum dan kebutuhan masyarakat modern. Pemerintah menyusun revisi ini untuk menyesuaikan hukum acara pidana dengan KUHP Nasional yang akan mulai berlaku pada 2026, sekaligus memperkuat perlindungan hak asasi manusia dan memastikan proses peradilan yang lebih transparan dan berkeadilan.

Meski secara nama terdengar mirip, KUHP dan KUHAP memiliki peran yang sangat berbeda dalam sistem hukum pidana Indonesia. KUHP merupakan hukum pidana materiil yang mengatur jenis perbuatan yang dilarang serta ancaman sanksinya. Sementara itu, KUHAP adalah hukum acara pidana yang menjadi acuan bagi penegak hukum dalam menangani proses pidana—mulai dari penyelidikan, penangkapan, penahanan, hingga persidangan.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah telah memulai pembahasan resmi terhadap RUU ini. Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) telah diserahkan, dan Komisi III DPR memastikan bahwa pintu masukan dari masyarakat tetap terbuka selama proses legislasi berlangsung.

“Kami membuka ruang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk memberi masukan terhadap RUU KUHAP agar regulasi yang dihasilkan benar-benar berpihak pada keadilan,” ujar Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, dilansir Gemagazine dari situs Antara News, Rabu (30/07/2025).

Pasal-Pasal Kontroversial

Peran Advokat Diperlemah

Peran advokat dalam pembelaan dipersempit. Saat mendampingi tersangka, advokat hanya diperbolehkan melihat dan mendengar tanpa mencatat dalam berita acara pemeriksaan (Pasal 33). Di persidangan, hak advokat untuk menyanggah bukti dibatasi (Pasal 197 ayat (10)), dan mereka dilarang memberikan pendapat di luar pengadilan (Pasal 142 ayat (3) huruf b). Hal ini dinilai bertentangan dengan kebebasan profesi advokat. RUU ini juga memperbolehkan tersangka atau terdakwa menolak bantuan hukum hanya dengan membuat berita acara (Pasal 146 ayat (4) dan (5)), padahal rentan untuk dipaksakan. Selain itu, definisi Pemberi Bantuan Hukum dipersempit hanya untuk advokat (Pasal 1 angka 21 dan Pasal 142 ayat (2)), tanpa mengakui peran paralegal, dosen, atau mahasiswa hukum.

Pengawasan Pengadilan Lemah

Satu-satunya jalur kontrol, yakni praperadilan (Pasal 149–153), masih memiliki banyak kelemahan: hanya memeriksa aspek formal, waktunya sempit, dan mudah digugurkan. RUU KUHAP bahkan mempersempit objek praperadilan (Pasal 149 ayat (1) huruf a) serta menghapus konsep hakim komisaris yang pernah diajukan dalam draf 2012. Akibatnya, peluang masyarakat menggugat tindakan sewenang-wenang aparat makin kecil.

Aturan Penangkapan dan Penahanan yang Rentan Disalahgunakan

RUU KUHAP tidak memperketat aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan:

  • Penangkapan: tidak memerlukan izin hakim, kecuali tertangkap tangan (Pasal 89); dapat diperpanjang tanpa kejelasan (Pasal 90 ayat (2)); tidak wajib membawa tersangka ke hadapan hakim dalam waktu 48 jam (Pasal 90 ayat (3)).
  • Penahanan: alasan penahanan diperluas hingga sembilan macam (Pasal 93 ayat (5)), termasuk alasan subjektif seperti “tidak kooperatif”.
  • Penggeledahan dan penyitaan: definisi keadaan mendesak (Pasal 106 ayat (4) dan Pasal 112 ayat (2)) tidak jelas, dan tidak disebutkan secara tegas kapan harus dilaporkan ke pengadilan.
  • Penyadapan: tidak dibatasi hanya untuk kejahatan berat, sehingga berisiko disalahgunakan.
  • Pemeriksaan surat: tidak diwajibkan mendapat izin dari pengadilan.

Implikasi RUU terhadap Perlindungan HAM dan Akses Keadilan

RUU KUHAP 2025 menuai kritik tajam dari berbagai pihak karena dinilai berpotensi melemahkan perlindungan hak asasi manusia dan mempersempit akses terhadap keadilan, khususnya bagi kelompok rentan. Beberapa pasal yang memperluas kewenangan penahanan tanpa pengawasan yudisial yang ketat serta membatasi fungsi praperadilan dinilai bertentangan dengan prinsip due process of law.

Direktur ICJR, Erasmus Napitupulu, menegaskan bahwa ketentuan penahanan dalam draf RUU tersebut dapat berdampak langsung pada kebebasan warga negara. “Pasal-pasal ini membuka celah penahanan jangka panjang tanpa kontrol yudisial memadai, yang pada praktiknya dapat menimbulkan pelanggaran HAM,” ujarnya, dilansir Gemagazine dari situs Institute for Criminal Justice Reform, Rabu (30/07/2025).

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP bahkan mengeluarkan seruan “#TolakRKUHAPGelap!” karena DPR RI dinilai “ngumpet-ngumpet” dalam membahas RKUHAP. Mereka mendesak agar proses pembahasan dan draf terbaru RKUHAP dibuka kepada publik. Diperlukan dialog yang lebih intensif dan transparan antara pemerintah, DPR, dan masyarakat sipil untuk memastikan bahwa RKUHAP yang akan disahkan benar-benar menjawab tantangan penegakan hukum yang adil. Tanpa partisipasi publik yang bermakna, revisi KUHAP dikhawatirkan justru menjadi instrumen yang melemahkan demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia.

(rn/chr)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *