Eksploitasi Tambang di Timur Indonesia Semakin Merebak

Foto: Pixebay.com

Foto: Pixebay.com

GEMAGAZINE – Wilayah timur Indonesia tampaknya belum pernah lepas dari aktivitas usaha pertambangan yang mengancam keberlangsungan kehidupan sektor lingkungan hingga sosial. Greenpeace Indonesia, organisasi lingkungan hidup, mengecam keras aktivitas usaha pertambangan di pulau-pulau kecil di Indonesia bagian timur.

Indonesia timur menjadi incaran perusahaan tambang swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mengeruk habis sumber daya alamnya. Salah satunya adalah pertambangan emas di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara dan pertambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, membentangkan spanduk bertuliskan “Tambang Nikel Menghancurkan Kehidupan”. Aksi tersebut dilakukan di hadapan Wakil Menteri Luar Negeri, Arief Havas Oegroesno, di acara Indonesia Critical Minerals Conference 2025.

Polemik Pertambangan Nikel Raja Ampat

Polemik pertambangan di Indonesia, khususnya di wilayah timur, kian membahayakan lingkungan alam sekaligus merampas hak hidup masyarakat adat. Keindahan alam dan kekayaan sumber daya alam yang diberkahi Tuhan tak henti-hentinya direbut oleh ketamakan pemerintah dan industri perusahaan.

Para aktivis Greenpeace Indonesia menuntut pemerintah membuka suara atas kerusakan lingkungan yang terjadi di Raja Ampat. Kerusakan tersebut dinilai mengancam keberlangsungan ekosistem darat, laut, udara, hingga masyarakat setempat.

“Beberapa waktu lalu, di awal tahun 2025, peneliti dari UGM dan Yogyakarta merilis hasil jurnal yang mengatakan bahwasanya ikan-ikan di Sangihe sudah mulai tercemar oleh merkuri. Artinya, kita tahu Sangihe ini sangat penting untuk penangkapan perikanan Indonesia. Dan jika fakta ini diketahui oleh global, dan tentu ini akan mereduksi atau mendowngrade produksi ikan kita secara global,” tegas aktivis Greenpeace Indonesia, dilansir Gemagazine dari Komisi III DPR RI pada Rabu, (18/06/2025).

Mereka juga menuntut pertanggungjawaban pemerintah dan perusahaan tambang atas dampak buruk dan kerusakan lingkungan akibat industrialisasi nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Raja Ampat merupakan salah satu gugus pulau kecil di wilayah timur Indonesia. Kepulauan ini dikenal karena keanekaragaman hayati dan kekayaan sumber daya alamnya.

Greenpeace Indonesia dalam laporannya mengungkap adanya aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil Raja Ampat, seperti Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran. Hal ini menuai kontra dari masyarakat adat hingga nasional. Masyarakat di Raja Ampat terdiri dari berbagai suku, termasuk Papua, Maluku, Halmahera, dan Bugis.

Publik meninjau izin tambang lima perusahaan di Raja Ampat yang dinilai merusak alam. Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia merespons setelah sempat memberhentikan sementara operasi PT Gag Nikel.

“Dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga menyampaikan bahwa memang dalam implementasi perusahaan itu terdapat pelanggaran dalam konteks lingkungan. Dengan mempertimbangkan beberapa hal, Presiden memutuskan empat IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang diluar pulau Gag dicabut,” tegas Bahlil, dilansir Gemagazine dari situs Sekretariat Presiden pada Selasa, (17/06/2025).

Larangan aktivitas pertambangan di pulau kecil tertuang dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 Pasal 35 huruf K tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil. Pasal tersebut menegaskan bahwa Pulau-Pulau kecil tidak diperbolehkan untuk aktivitas penambangan yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan, merugikan masyarakat sekitar, dan lain-lain.

Mempertahankan Tanah Sangihe dari Tambang Emas

Kabupaten Kepulauan Sangihe terletak di Provinsi Sulawesi Utara dan berada di antara Pulau Sulawesi dan Mindano (Republik Filipina). Kepulauan ini terdiri dari 105 pulau kecil dan sangat kecil dengan 26 pulau berpenghuni dan 79 pulau lainnya tidak berpenghuni. Dilaporkan Gemagazine dari situs Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe pada Selasa, (17/06/2025).

Pada Januari 2021, pemerintah Indonesia melalui Menteri ESDM, Arifin Tasrif menetapkan Surat Keputusan Nomor 163.K/MB.04/DJB/2021 tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak PT Tambang Emas Sangihe (TMS). Keputusan ini menuai pro dan kontra dari masyarakat Indonesia.

Pertambangan emas oleh PT Tambang Emas Sangihe (TMS) dinilai mengancam hak hidup masyarakat Desa Bowene, Kepulauan Sangihe. Kehidupan masyarakat desa Bowene yang tak pernah lepas dari alam, kini perlahan terpisahkan dari alam.

Dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pasal 1 angka 3, dijelaskan bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta keseluruhan ekosistemnya.

Di sisi lain, luas wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe mencapai 11.863,58 km2 yang terdiri dari daratan seluas 736,98 km2 dan lautan seluas 11.126,61 km2, dilansir Gemagazine dari situs Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe pada Selasa, (17/06/2025). Oleh karena itu, izin tambang emas yang diberikan kepada PT Tambang Emas Sangihe (TMS) dinilai tidak sesuai Undang-Undang.

Demi keadilan hak hidup yang telah dirampas, masyarakat Sangihe menolak keras adanya kegiatan pertambangan emas di tanahnya. Mereka membentuk kemitraan Save Sangihe Island guna menggugat perizinan usaha yang diakuisisi PT Tambang Emas Sangihe (TMS) di PTUN Jakarta.

“Ini pulau kami, pulau kami sangat kecil. Kalau itu hancur, tidak tahu lagi kami mau kemana. Dan kami juga memilih hukum supaya masyarakat itu melihat orang Sangihe tidak mau anarki. Dan ketika rakyat menang jaminan keadilan tidak ada,” ujar inisiator Save Sangihe Island, Jull Takaliuang, dilansir Gemagazine dari Komisi III DPR RI pada Rabu, (18/06/2025)

Namun, gugatan yang dilayangkan sebelumnya ditolak, sehingga perizinan PT Tambang Emas Sangihe (TMS) masih tetap berlaku. Meski begitu, perjuangan tak berhenti. Didukung masyarakat, gerakan Sangihe tetap melanjutkan penolakannya dengan melayangkan kembali gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Manado.

Dalam gugatannya di PTUN Manado, gerakan Save Sangihe Island akhirnya berhasil memenangkan perkara. Dengan demikian, perizinan usaha pertambangan emas yang sebelumnya diberikan kepada PT Tambang Emas Sangihe (TMS) resmi dinyatakan tidak berlaku.

(rn/lidg)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *