Disiplin Berlebihan Membebani Mental Remaja Masa Kini
Foto: Shalsabhilla Putri
GEMAGAZINE – Di balik perilaku remaja yang dianggap menantang, sering tersembunyi tekanan mental akibat disiplin berlebihan yang jarang disadari. Mereka tumbuh dalam lingkungan penuh aturan tanpa ruang diskusi. Kontrol berlebih bisa berdampak serius bagi kesehatan jiwa.
Disiplin memang penting untuk membentuk karakter. Namun, tanpa pendekatan yang manusiawi, aturan bisa berubah menjadi beban. Anak justru kehilangan kesempatan untuk memahami makna tanggung jawab secara utuh.
Remaja membutuhkan keseimbangan antara kebebasan dan bimbingan. Jika hanya dibatasi tanpa diberi ruang suara, mereka tumbuh dalam tekanan. Oleh karena itu, perlindungan seharusnya tidak membuat anak merasa terkekang.
Mengapa Remaja Perlu Memahami Aturan
Anak yang patuh karena takut sebenarnya tidak belajar apa-apa. Mereka hanya berusaha menghindari hukuman, bukan memahami makna di balik aturan. Pola asuh seperti ini bukanlah cara ideal untuk membentuk pribadi yang bertanggung jawab.
Dalam jangka panjang, tekanan semacam ini menciptakan kepatuhan semu. Anak mungkin terlihat baik dari luar, tetapi menyimpan ketakutan atau bahkan kemarahan dalam diam. Rasa percaya terhadap orang dewasa pun bisa memudar.
Masa remaja adalah masa penting untuk membangun konsep diri. Jika anak tidak dilibatkan dalam penyusunan aturan hidupnya, ia bisa merasa terasing. Bahkan, perasaan itu bisa muncul di lingkungan terdekatnya sendiri.
Rasa aman akan tumbuh ketika anak dilibatkan dalam proses. Dengan begitu, aturan bukan lagi tekanan, melainkan bagian dari proses tumbuh bersama, dilansir Gemagazine dari jurnal Penanaman Disiplin pada Anak Usia Dini, Jumat (6/6/2025).
Disiplin Berlebih Mengganggu Kesehatan Emosional
Pengawasan yang terlalu ketat bisa memicu stres berlebih. Anak merasa tidak dipercaya, lalu mulai menyembunyikan hal-hal dari orang tua atau guru. Mereka belajar berbohong, bukan karena nakal, melainkan karena takut dimarahi.
Kondisi ini merusak kepercayaan diri anak secara perlahan. Ia jadi ragu mengambil keputusan dan tidak yakin dengan kemampuannya sendiri. Dalam beberapa kasus, tekanan ini berujung pada kecemasan atau bahkan depresi.
Anak bukanlah robot yang bisa diatur setiap geraknya. Mereka membutuhkan ruang untuk tumbuh, membuat kesalahan, dan belajar. Jika lingkungan hanya fokus pada larangan, anak justru kehilangan kesempatan untuk berkembang.
Tekanan psikologis yang terus-menerus juga bisa mempengaruhi hubungan sosial anak. Mereka bisa merasa terisolasi dari lingkungannya karena tidak menemukan tempat yang bisa menerima mereka apa adanya, dilansir Gemagazine dari jurnal Dampak Toxic Parents dalam Kesehatan Mental Anak, Jumat (6/6/2025).
Ruang Aman Itu Perlu, Bukan Larangan Baru
Ruang aman tidak sama dengan kebebasan tanpa batas. Justru, ruang aman memberi anak kesempatan untuk bicara, mencoba, dan tumbuh bersama. Dalam ruang seperti ini, disiplin bisa berjalan lebih efektif.
Anak cenderung lebih patuh pada aturan yang mereka pahami. Aturan yang lahir dari komunikasi dan bukan paksaan, membuat anak merasa dihargai. Saat anak merasa dihargai, rasa percaya pun tumbuh.
Setiap kebijakan yang menyangkut anak sebaiknya disusun bersama mereka. Jangan hanya bicara soal perlindungan, tetapi berikan juga ruang bagi mereka untuk menyuarakan pendapat.
Kamu juga bisa jadi bagian dari solusi dengan menciptakan lingkungan yang terbuka dan tidak menghakimi. Karena ketika anak merasa aman, mereka lebih mudah berkembang secara utuh, dilansir Gemagazine dari jurnal Spektrum Analisis Kebijakan Pendidikan, Jumat (6/6/2025).
Disiplin berlebihan tanpa komunikasi dapat membebani mental remaja. Kepatuhan karena takut hanya menghindari hukuman, bukan memahami nilai aturan. Hal ini menghambat tumbuh kembang dan membentuk kepatuhan semu.
Remaja butuh ruang ekspresi dan dilibatkan dalam aturan. Jika dihargai, mereka akan lebih bertanggung jawab. Disiplin bisa jadi proses belajar, bukan tekanan, dengan pendekatan yang manusiawi.
(as/pk)